Putri Herlina, Gadis Tanpa Tangan
Pengasuh Anak Yang Dibuang
Putri Herlina juga bermain internet dengan kedua kakinya. Dia bisa menggunakan kaki untuk chatting,main hp, dan aktivitas multimedia lainnya.
Semangat hidup Putri Herlina sungguh luar biasa. Dia ditinggal orang tuanya setelah lahir di rumah sakit. Setelah lulus SMA, gadis tanpa lengan itu kini merawat anak-anak yang senasib dengannya.
RIDLWAN HABIB, Jogjakarta
PUTRI Herlina baru saja selesai mandi saat Jawa Pos menemuinya Kamis (1/3) sore lalu. Rambutnya basah. Wajahnya segar dan cerah. Sejurus kemudian, dia mengambil mukena dengan kakinya dan beranjak menuju ruang yang difungsikan sebagai musala kecil.
Dengan cekatan dia mengenakan mukena itu menggunakan kaki kanan dibantu tiga ruas jari tangan kiri yang tumbuh sedikit di ujung pundak. Seusai salat dan berdoa, Putri melipat sajadah dengan kakinya.
Putri lantas mengajak Jawa Pos menemui "adik-adiknya". Salah satunya adalah Aisyah Fatimah, bayi berusia 23 bulan. "Selly sayang, udah mandi ya. Aduh, bedaknya kok tebal banget," katanya.
Selly diam saja. Dia menderita cerebral palsy atau lumpuh otak. Tangan dan kakinya kaku. Selly tak bisa menelan dan berkomunikasi kecuali dengan mata. Sehari-hari asupan makanan untuk balita cantik itu disuntikkan melalui slang di hidung.
Seperti halnya Putri, Selly juga "dibuang" orang tuanya sejak lahir. "Aku ditinggal di rumah sakit, mungkin karena tidak punya tangan dan mereka malu," kata Putri. Karena tak ada yang bertanggung jawab, Putri lantas dirawat Susiani Sunaryo. Saat itu Susiani masih berusia 25 tahun dan menjadi relawan di Yayasan Sayap Ibu. Kini Susiani menjadi ibu panti di Kadirojo, Kalasan, Sleman.
Yayasan Sayap Ibu didirikan oleh Soelastri, istri Bung Tomo, pahlawan perang Surabaya 10 November, pada 1955. Saat ini ada 25 anak "tak dikehendaki" ayah-ibunya yang ditampung di Kadirojo. Rata-rata mereka mengalami cacat ganda. Yakni, cacat fisik dan mental karena aborsi yang gagal. Sehari-hari mereka hidup mengandalkan donatur tidak tetap. Memang ada dana dari pemerintah, namun jumlahnya hanya Rp 2.500 per anak per hari.
"Kata Ibu (Susiani, Red), aku dirawat sejak bayi merah. Beliau adalah orang yang paling aku sayangi," katanya. Di tengah wawancara, Susiani datang mendekat, merangkul Putri dan mencium pipinya. Putri tersenyum.
Menurut Susiani, Putri lahir 3 Oktober 1988. Namun, dia menolak menjelaskan lebih detail asal usul Putri, termasuk di rumah sakit mana dia ditelantarkan. "Maaf, itu kode etik kami," ujarnya.
Putri kecil rupanya sangat aktif dan selalu ingin tahu hal baru. Karena itu, bersama suaminya, Sunaryo, Susiani mencarikan taman kanak-kanak di sekitar panti mereka. "Kami keliling sampai sebelas TK, semuanya menolak," kata wanita yang akrab disapa Bu Naryo itu.
Akhirnya ada TK milik Aisyiyah (Muhammadiyah) yang mau menerima Putri. Yakni, TK ABA Sukoharjo Purwomartani, Sleman. "Aku nggak suka diistimewakan. Semua yang bisa dilakukan teman-teman yang lain aku juga ikut. Pramuka, olahraga, pokoknya seperti biasa saja," kata Putri.
Lulus SD Muhammadiyah Sambisari, Sleman, dia melanjutkan ke SMP RC di Solo, Jawa Tengah. Lalu ke SMA Muhammadiyah 6 Surakarta. "Di sekolah aku selalu ingin duduk di depan. Di samping meja aku taruh kursi lagi untuk menulis," katanya. Sebab, jika menulis di atas meja, itu terlalu tinggi untuk dijangkau kakinya.
Ketika ada temannya yang menyerobot meja, biasanya Putri kesal dan protes kepada gurunya. Putri lalu sering berangkat lebih pagi agar bisa duduk di meja favoritnya. "Pokoknya, sebelum belajar aku bersihkan dulu," kata penggemar novel romantis ini.
Karena tinggal di Solo, sementara orang tua asuhnya di Jogja, Putri harus hidup mandiri. Dia kos di dekat sekolah. "Aku dan teman-teman masak sendiri, cuci baju sendiri," katanya. Sesekali Bu Naryo datang berkunjung untuk membawakan kebutuhan dasar Putri, seperti beras dan bahan lauk-pauk.
Sering Putri menangis di tengah malam. "Ya, namanya stres, down, atau galau. Itu aku pernah alami. Biasanya kalau sudah curhat sama Ibu, hilang semua," katanya. Putri ingat benar pesan Bu Naryo agar selalu menjaga salat lima waktu dan berdoa.
Belajar tekun, Putri pun lulus dengan nilai bagus pada 2009. Setelah itu dia ikut kursus bahasa Inggris intensif. Lalu ikut pelatihan di Yakkum Bethesda yang memang sering mengadakan training untuk kalangan difabel.
Putri lantas bekerja sebagai resepsionis atau penerima tamu di kantor pusat Yayasan Sayap Ibu Jogjakarta yang lokasinya di Pringwulung, Condongcatur, Sleman.
Di sana dia juga ikut menangani kegiatan administrasi seperti mengetik data donatur atau menulis undangan acara penggalangan dana. "Aku juga pernah menjadi MC di mal lho. Cita-citaku sih sebenarnya ingin jadi presenter di televisi," katanya.
Dua tahun sebagai staf di kantor pusat, Putri memilih kembali ke rumah masa kecilnya. "Terus terang, aku lebih betah di sini. Aku ingin berbakti pada Ibu dan ikut merawat adik-adikku," katanya.
Agenda harian Putri lengkap, mulai memandikan, mengganti popok, memberi susu, dan menyuapi balita yang sudah bisa diberi makanan padat.
Sebagaimana remaja pada usianya, Putri juga gaul. Dia masih sering kontak dengan teman-teman sekolahnya. "Ya, minimal SMS-an lah," kata penyuka warna pink ini.
Bagaimana hubungan asmara" "Ada sih yang pernah dekat. Malah dia suka minta aku cuciin bajunya saat masih di Solo," ujar Putri, lalu terbahak.
Suatu ketika, ada seorang donatur baik hati yang ingin membuatkannya tangan palsu. Bahkan, donatur itu menawari Putri pergi ke luar negeri untuk mencari bahan yang paling nyaman. Para pegawai yayasan pun antusias meminta Putri untuk segera memilih yang pas.
"Ayo Put, mumpung ada yang mau buatin tangan. Suatu saat kamu kan menikah, punya suami," ujar Putri menirukan komentar salah seorang pengurus yayasan.
Tapi, justru dengan alasan itu dia menolak halus tawaran tangan palsu. "Aku ingin suami yang mencintaiku apa adanya," katanya. "Lelaki sering memandang wanita dari kelebihannya saja, aku ingin suamiku tahu kekuranganku. Toh, kita bakal hidup bersama sampai mati kan," ujar Putri.
Saat ini Putri memendam keinginan untuk kuliah. Selain tak ingin merepotkan Bu Naryo yang sudah dia anggap sebagai ibu sendiri, Putri belum tega meninggalkan panti. "Sebenarnya aku ingin belajar broadcasting, supaya bisa jadi presenter," ujarnya.
Dia juga mengaku ingin sekali menjajal naik pesawat terbang. Maklum, seumur hidup dia belum pernah naik burung besi. "Seperti apa ya rasanya. Paling jauh aku pergi ke Surabaya pakai kereta api," katanya.
Putri juga sedang menulis kisah hidupnya dengan sebuah laptop pemberian seorang donatur. "Masih dicicil, semoga saja bisa segera selesai dan jadi buku," tuturnya.
Susiani sangat mendukung cita-cita anak gadisnya itu. "Pokoknya, apa pun yang terbaik untuk Putri, saya dan Bapak pasti setuju," katanya.
Termasuk jika nanti Putri menemukan tambatan hati dan tinggal bersama suaminya. "Semoga Gusti Allah selalu melindungimu ya Nduk," katanya sembari mengelus rambut Putri.
Sumber. http://www.jpnn.com/read/2012/03/09/120028/Putri-Herlina,-Gadis-tanpa-Tangan-Pengasuh-Anak-Anak-yang-Dibuang